KMPN Ngaji: Non-Rocket Flight System
Pada masa kini, roket sangat kerap digunakan sebagai wahana peluncur menuju luar angkasa. Sejak insinyur pionir Wernher von Braun pertama kali merancang roket jarak jauh pertama, FAU 2 (sering dikenal sebagai V2) ketika Perang Dunia II, telah lewat masa kurang lebih 70 tahun yang mana teknologi roket berbahan bakar cair (liquid fueled) dan berbahan bakar padat (solid fueled) telah mencapai puncak dari pengembangan teknologinya. Beberapa kelemahan utama roket ialah: biaya peluncuran yang sangat mahal $20000 — $50000/kg; tingkat konsumsi propelan yang sangat tinggi; masalah penyimpanan propelan karena oxidizer dan bahan bakar (misal: oksigen dan hidrogen) memperlukan suhu kriogenik, atau mereka merupakan zat beracun (misal: asam nitrat dan UDMH).
Mengapa Mahal?
Untuk meluncurkan suatu muatan (payload) ke luar angkasa, diperlukan suatu wahana peluncur (launch vehicle) yang mampu mengatasi tantangan-tantangan yang berkaitan dengan peluncuran. Salah satu rintangan terbesar yaitu minimum orbital velocity, yaitu kecepatan minimum yang diperlukan untuk mencapai orbit suatu benda langit dan tidak terjatuh kembali ke permukaan benda langit tersebut. Kecepatan ini dapat diraih ketika jarak perigee dari orbit suatu wahana luar angkasa bernilai sama dengan radius suatu benda langit, apabila jarak perigee bernilai lebih kecil daripada radius benda langit, maka wahana tersebut akan terjatuh.
Akibat mahalnya harga peluncuran berbasis roket inilah, mulai muncul ide untuk melakukan metode peluncuran dengan berbasis non-roket, atau lebih dikenal sebagai non-rocket orbital launch system.
Sejarah
Sejak sebelum roket luar angkasa pertama kali diciptakan, manusia telah konsisten berusaha untuk mencari berbagai alternatif untuk mengantar barang ke antariksa. Berbagai konsep telah dirancang, dibuat, dan diuji guna menyumbangkan metode peluncuran alternatif. Menurut literatur Alkitab, pada tahun 2100 SM manusia telah berambisi dan berusaha untuk membangun menara yang mencapai langit yang dinamakan the Tower of Babel. Pada tahun 1895, ilmuwan Rusia, Konstantin Tsiolkovsky (ilmuwan yang terkenal akan classical rocket equation-nya), mengkonsiderasikan suatu menara yang dibangun setinggi orbit geosinrkon di 35800 km yang akan mengangkut muatan dari permukaan bumi ke orbit dengan suatu sistem lift, yaitu Space Elevator. Nikola Tesla juga mengajukan ide yang sama, sayangnya catatan-catatannya disembunyikan dibalik Tirai Besi Uni Soviet setelah kematiannya.
Gagasan untuk menembakkan suatu proyektil ke luar angkasa telah ada sejak penulis fiksi ilmiah Jules Verne menginisiasikan suatu konsep meriam yang cukup kuat untuk mendorong suatu wahana/proyektil ke luar angkasa. Pada tahun 1960-an, Amerika Serikat dan Kanada mengembangkan meriam 16 inci yang dapat meluncurkan proyektil ke luar angkasa, program ini dinamakan Project HARP (High Altitude Research Project) — yang mana tujuan utamanya adalah untuk mempelajari sifat balistik wahana re-entry dan mengambil data atmosfer di ketinggian tinggi untuk keperluan penelitian. Pada tahun 1992, Project HARP dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat menjadi Super HARP atau SHARP (Super High Altitude Research Project) yang menggunakan laras meriam berbentuk L dengan dua bagian terpisah. Untuk menembakkan wahana, Super HARP menggunakan ekspansi gas hidrogen dan berhasil meluncurkan wahana seberat 5 kg pada kecepatan 3 km/s atau Mach 8.8.
Disisi lain, ada ide lain yang berambisi untuk mengembangkan sistem peluncur non-roket bernama mass driver. Sistem peluncur ini umumnya menggunakan ketapel elektromagnetik dengan motor homopolar linear guna meluncurkan wahana ke luar angkasa. Salah satu prototipe mass driver pertama yang berupa “coil gun” dikembangkan oleh Dr. Edwin Fitch Norhrup dari Prinecton University pada tahun 1937. Pada tahun 1976, Mass Driver 1 dirancang dan dikonstruksi prototipenya oleh Gerard K. O’Neill dari Princeton University serta beberapa mahasiswa MIT. Beberapa prototiple sistem mass driver lainnya juga telah dikembangkan oleh berbagai lembaga seperti US Space Studies Institute.
Salah satu konsep peluncur non-roket lainnya adalah Centrifugal Space Launcher, yang mana sebuah mesin akan memutar suatu lengan dengan wahana peluncur terkait di ujungnya hingga suatu kecepatan angular tertentu. Pada kecepatan tersebut, gaya sentrifugal akan terakumulasi dan wahana akan diluncurkan dari lengan pemutar menuju ruang angkasa, layaknya olahraga lempar martil. Konsep ini telah diujicoba oleh perusahaan asal Amerika Serikat, SpinLaunch, yang telah berhasil meluncurkan prototipe subskala sistem peluncur sentrifugal hingga ketinggian 30000 kaki (9100 m) sejak 22 Oktober 2021. Selain contoh-contoh tersebut, masih terdapat banyak metode non-konvensional lainnya yang dapat diterapkan untuk meluncurkan suatu muatan ke luar angkasa seperti: cable space accelerator, circle launcher and space keeper, optimal inflatable space tower, kinetic space towers, gas tube hypersonic launchers, kinetic repulsator, dll.
Walaupun banyak ide maupun solusi yang ditawarkan mengenai alternatif dari sistem peluncuran berbasis roket, sebagian besar memiliki dasar basis yang sama, dan memiliki kelebihan maupun kekurangan masing-masing, akan tetapi secara umum terbagi sebagai berikut:
Kelebihan
- Cheaper cost/kilogram to launch
Hal yang membuat peluncuran menggunakan roket mahal adalah, diluar kebutuhan untuk meluncurkan kargo yang akan dikirim ke orbit, roket juga perlu untuk meluncurkan bahan bakar yang dibawa, dan seringkali, jumlah bahan bakar yang perlu dibawa untuk meluncurkan kargo yang akan dikirim jauh lebih besar, sehingga dari sisi kapabilitas peluncuran, roket memiliki efisiensi yang cukup buruk. Sistem peluncuran non-roket menawarkan solusi dari permasalahan ini. Sebagian besar sistem peluncuran non-roket tidak perlu secara langsung membawa bahan bakarnya bersama dengan kargo untuk diluncurkan, sehingga lebih murah, baik dari segi bahan bakar pada sistem yang menggunakan, dan secara total berat yang perlu diluncurkan
- Scalability
Permasalahan utama pada sistem peluncuran roket adalah skalabilitas yang sangat buruk. Untuk membawa kargo yang lebih besar, diperlukan jumlah bahan bakar dan roket yang jauh lebih banyak, sehingga untuk dapat mengirim payload yang tidak dapat dibagi peluncurannya, mengalami kenaikan harga secara eksponensial. Sistem peluncuran non-roket mampu menawarkan solusi skalabilitas dengan kenaikan harga yang jauh lebih datar dibandingkan peluncuran roket, dikarenakan tidak memiliki permasalahan yang dialami oleh peluncuran roket.
- Resource savings
Sistem peluncuran non-roket, walaupun sebagian besar secara teoretis memiliki biaya awal yang jauh lebih besar dibandingkan sistem peluncuran roket, secara jangka panjang membutuhkan sumber daya yang jauh lebih sedikit per peluncuran dibandingkan dengan sistem roket
Kekurangan
- Ranah Teoretis
Sebagian besar solusi sistem peluncuran non-roket yang diajukan, hingga saat ini masihlah bersifat konsep atau teori. Hal ini diakibatkan beberapa hal, seperti belum adanya material yang mampu memenuhi kebutuhan desain sistem tersebut, biaya pengembangan yang masih cukup mahal, maupun belum adanya kebutuhan untuk kapabilitas skala besar yang ditawarkan solusi tersebut, sehingga belum adanya motivasi dari negara maupun pengembang untuk memperdalam konsep tersebut.
- Fleksibilitas
Sebagian solusi sistem peluncuran non-roket yang saat ini mampu untuk dikembangkan, sebagian besar masih untuk dalam skala kecil dan terbatas, dengan tujuan utama untuk peluncuran satelit ke LEO (Low Earth Orbit)
- Persaingan dengan sistem roket
Dengan kemajuan dalam sistem roket, terutama dengan perkembangan dengan sistem reusable booster oleh perusahaan SpaceX, biaya per kilogram untuk peluncuran telah turun sangat jauh dibandingkan dengan saat pertama kali konsep solusi sistem peluncuran non-roket dicetuskan. Persaingan tersebut akan semakin ketat apabila sistem roket Starship yang dikembangkan oleh SpaceX berhasil.
KONSEP-KONSEP PELUNCUR NON-ROKET YANG BELUM DAPAT DIREALISASIKAN
Berikut adalah beberapa contoh konsep peluncur wahana antariksa non-roket yang sejauh ini belum dapat direalisasikan beserta dengan tantangan-tantangan yang dihadapinya:
- Space Elevator
Space Elevator merupakan instalasi kabel yang menghubungkan permukaan bumi dengan orbit geostasioner bumi (GEO) yang terletak di ketinggian 37786 km. Space Elevator memiliki posisi yang mana pusat massanya berhimpit dengan ketinggian elevator yang tidak akan berubah — ini dapat dilakukan dengan cara memanjangkan kabel sebanyak dua kali ketinggian tersebut atau dengan memasang pemberat (counterweight). Ketika sudah dibangun, pendakian elevator dari permukaan bumi akan dipercepat dengan bantuan rotasi planet. Namun, Space Elevator harus dibuat dari material yang mampu menahan pembebanan (stress) yang teramat besar, namun ringan, murah, dan dapat untuk dimanufaktur. Struktur elevator antariksa juga harus mampu menopang berat elevator, menahan tekanan gravitasi Bumi, serta gaya sentrifugal counterweight di orbit. Daya listrik adalah kendala signifikan bagi pendaki Space Elevator (climber). Beberapa solusi yang telah dicoba termasuk tenaga nuklir, sinar laser, atau transmisi daya gelombang mikro. Namun, solusi-solusi tersebut sangat kompleks, mahal, atau memiliki efisiensi yang sangat rendah. Metode utama penggunaan daya listrik (melalui sinar laser atau transmisi daya gelombang mikro) memiliki masalah yang signifikan terkait efisiensi dan pembuangan panas di sisi atas maupun bawah Space Elevator. Pembangunan elevator antariksa melibatkan pengangkatan seluruh massa elevator ke orbit geosinkron. Satu kabel ditarik ke bawah menuju permukaan Bumi sementara kabel lainnya secara simultan di-deploy ke atas. Metode ini membutuhkan pengangkatan ratusan atau bahkan ribuan ton payload konstruksi melalui roket konvensional, yang akan sangat mahal. Sejumlah besar masalah besar engineering lainnya juga harus dipecahkan untuk membuat elevator antariksa menjadi praktis — teknologi masa kini tidak memenuhi persyaratan ini.
- Space Mass Driver
Space mass driver adalah sistem peluncuran hipotetis yang menggunakan motor linear untuk mempercepat muatan hingga mencapai kecepatan orbit. Tantangan utama dari sistem ini adalah membangun akselerator linear yang cukup besar dan sistem listrik yang cukup kuat untuk menghasilkan medan magnet yang diperlukan. Space mass driver memerlukan jumlah energi yang sangat besar untuk mempercepat muatan hingga kecepatan orbit, dan energi ini harus dipindahkan dengan sangat cepat, hal ini berarti sumber daya listrik yang digunakan untuk menggerakkan motor linier harus mampu memberikan daya dengan output puncak yang sangat tinggi. Gaya percepatan yang dialami oleh muatan dalam space mass driver bisa sangat tinggi, dan hal ini dapat menempatkan stress yang signifikan pada struktur peluncuran. Oleh karena itu, pengembangan bahan baru yang dapat menahan gaya ini sangat penting. Payload dalam space mass driver harus dipandu dan dikontrol dengan akurat sepanjang proses peluncuran untuk memastikan bahwa mereka mencapai lintasan yang tepat dan menghindari tabrakan dengan objek lain di luar angkasa. Hal ini memerlukan pengembangan sistem pemanduan dan kontrol yang canggih. Proses peluncuran space mass driver disisi lain berpotensi untuk menghasilkan jumlah radiasi elektromagnetik dan polusi lain yang signifikan, yang dapat berdampak negatif pada lingkungan dan sistem luar angkasa lainnya.
KONSEP-KONSEP PELUNCUR NON-ROKET YANG (KEMUNGKINAN) DAPAT DIREALISASIKAN
- Space Gun:
Space gun adalah sistem peluncuran wahana antariksa non-roket yang menggunakan meriam besar untuk mempercepat muatan hingga mencapai kecepatan orbit. Beberapa prototipe space gun berhasil dibuat dan diujicoba, seperti Project HARP, Super HARP, Light Gas Gun, Project Babylon, dan Quicklaunch — namun patut dicatat bahwa mayoritas hasil eksperimen space gun bersifat inkonklusif untuk dapat dikatakan sebagai sukses, sehingga teknologi ini tidak dapat dikatakan sebagai “proven” atau teruji.
Beberapa tantangan dalam membangun sebuah space gun meliputi: percepatan proyektil, muatan yang diluncurkan dari space gun dapat mengalami gaya percepatan yang sangat tinggi, yang dapat berbahaya atau bahkan fatal bagi organisme hidup atau muatan yang sensitif. Oleh karena itu, meriam harus dirancang dengan hati-hati untuk meminimalkan akselerasi ini dan melindungi muatan. Diameter laras meriam: ukuran laras meriam yang terbatas dan tidak bisa disesuaikan membatasi skalabilitas dari wahana antariksa atau payload yang akan diluncurkan — semuanya harus muat didalam laras meriam. Akurasi peluncuran: Akurasi yang dibutuhkan untuk meluncurkan muatan ke ruang angkasa dari sebuah space gun sangat tinggi. Bahkan deviasi kecil dari lintasan yang benar dapat menyebabkan muatan meleset dari sasarannya atau bertabrakan dengan objek lain di ruang angkasa. Biaya: Membangun sebuah space gun akan memerlukan sumber daya dan investasi yang signifikan, dan biaya pengembangan dan pengoperasian sistem bisa sangat tinggi. Dampak lingkungan: Proses peluncuran space gun berpotensi menghasilkan jumlah suara bising dan bentuk polusi lain yang signifikan, yang dapat berdampak negatif pada lingkungan dan komunitas sekitarnya. Keamanan: Sebuah space gun dapat menimbulkan risiko keamanan yang signifikan bagi komunitas sekitarnya jika tidak dirancang dan dioperasikan dengan tindakan keamanan yang tepat.
- Centrifugal Space Launcher
Centrifugal space launcher meggunakan suatu piringan besar dengan lengan yang diputar dengan kecepatan angular tinggi — piringan ini dibuat vakum untuk meminimalisasi adanya gaya hambat (drag) yang dihasilkan oleh udara. Seperti yang telah sebelumnya dijelaskan, terdapat wahana antariksa atau muatan yang dipasang pada ujung luar lengan yang berputar, sehingga menerima gaya sentrifugal terbesar. Wahana tersebut akan dilepas pada suatu titik dan perpindahan energi dari potensial menjadi kinetik akan melesatkan wahana antariksa keluar dari atmosfer. Teknologi peluncur ini sedang diuji coba oleh SpinLaunch, yang sejauh ini berhasil mengembangkan demonstrator teknologi dengan output power 20% dari output power sistem peluncur sesungguhnya. Proyektil yang ditembakkan prototipe ini berhasil menembus kecepatan suara dan melesat hingga ketinggian 30000 kaki.
Beberapa tantangan dari penerapan metode centrifugal launcher yang diterapkan oleh SpinLaunch ini berupa:
Bahan
SpinLaunch akan memerlukan bahan yang kuat dan ringan untuk menahan gaya sentrifugal yang tinggi, transfer energi secara masif yang terjadi secara sangat singkat, dan perubahan percepatan terhadap waktu (jerk) yang sangat besar. Bahan tersebut juga harus mampu menahan penggunaan berulang kali.
Energi
SpinLaunch akan memerlukan jumlah energi yang besar untuk dioperasikan. Sumber energi harus dapat diandalkan dan mampu menyediakan daya yang cukup untuk mempertahankan gaya sentrifugal yang tinggi.
Presisi
sistem peluncuran harus sangat presisi untuk memastikan bahwa wahana peluncur dilepaskan pada kecepatan dan sudut yang tepat untuk mencapai orbit. Sifat piringan peluncur yang berupa ruang vakum juga memberikan tantangan tersendiri, yang mana harus terdapat tempat “transisi” antara ruang vakum piringan dengan tekanan atmosfer standar di luar. Deviasi yang sangat kecil maupun kesalahan kalkulasi dalam menentukan ruangan “transisi” tersebut pun bisa mengakibatkan kegagalan peluncuran dan menghasilkan kerusakan yang parah.
Skalabilitas
ukuran lengan dan daya listrik yang terbatas untuk membuat gaya sentrifugal dari rotasi lengan peluncur mengakibatkan adanya limitasi dari ukuran wahana peluncur maupun payload yang akan diketapelkan ke luar angkasa. Disisi lain, upscaling dari prototipe SpinLaunch akan memakan energi yang jauh lebih besar dengan safety margin yang berkurang juga karena ukuran keseluruhan sistem yang membesar dan memiliki energi potensial/linetik maupun momentum yang jauh lebih besar pula. Gaya sentrifugal, rotasi lengan peluncur yang sangat cepat mengakibatkan tingginya percepatan gravitasi (G-Force) yang diterima oleh wahana peluncur sehingga payload harus dirancang sedemikian rupa untuk dapat bertahan dari tingginya G-Force saat peluncuran — ini juga berarti bahwa sistem peluncur sentrifugal sulit dioptimisasi untuk digunakan oleh wahana berawak. Dampak lingkungan, konstruksi dan operasi SpinLaunch dapat memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal polusi suara dan konsumsi energi.
Keselamatan
SpinLaunch akan melibatkan rotasi dengan kecepatan tinggi dan harus dirancang untuk memastikan keselamatan baik untuk muatan maupun lokasi peluncuran. Kegagalan sistem selama peluncuran bisa berakibat serius.
Dari semua yang telah dijabarkan diatas mengenai konsep peluncuran non-roket, manakah yang paling menarik menurut anda? Apakah konsep-konsep tersebut akhirnya dapat diimplementasikan di masa depan, ataukah konsep tersebut pada akhirnya hanya berakhir dengan sebuah konsep, dikarenakan tidak ada demand yang membutuhkan solusi tersebut, atau dikarenakan persyaratan yang dibutuhkan tidak pernah tercapai?
REFERENSI
Non-Rocket Space Launch and Flight, Alexander A. Bolonkin, Elsevier, London, 2005.
Paris Kanonen — The Paris Guns (Wilhelmgeschütze) and Project HARP (Wehrtechnik und Wissenschaftliche Waffenkunde), Gerald V. Bull, 1988.
Bahan Ajar Teknik Dirgantara FTMD ITB