Rudal Hipersonik: Ancaman Nyata dan Cara Bertahan

PWK KMPN ITB
8 min readAug 4, 2022

--

Oleh: Muhammad Faza Abel Jonggara Marpaung (13620015)

Gambar 1: HGV DF-17 milik Cina. Sumber: People’s Liberation Army.

Proliferasi Rudal Hipersonik:

Akhir-akhir ini kerap muncul di berita bahwa berbagai negara, adidaya maupun bukan, sedang mengembangkan teknologi alutsista (alat utama sistem senjata) rudal (peluru kendali) yang mampu mengangkasa mencapai kecepatan hipersonik. Flight regime hipersonik sendiri didefinisikan ketika suatu wahana terbang lebih dari lima kali kecepatan suara (Mach > 5), yang mana pada kondisi tersebut wahana mengalami fenomena ekstrem baik dari segi termal maupun aerodinamika yang berbeda dari penerbangan supersonik maupun subsonik. Contoh fenomena tersebut berupa tingginya lapisan entropi yang dapat mengurangi stabilitas wahana dan tingginya suhu wahana akibat terdisosiasinya molekul udara menjadi plasma karena gesekan udara pada kecepatan yang sangat tinggi [4]. Negara-negara seperti Cina telah mengembangkan rudal hipersonik mereka seperti DF (Dongfeng)-17 [6] yang dapat diluncurkan dari darat dan terlihat di Gambar 1. Rusia juga telah mengembangkan senjata hipersoniknya sendiri seperti Zircon yang dapat diluncurkan dari pesawat pencegat MiG-31 Foxhound dan Avangard [7]. Bahkan Korea Utara pun mengklaim bahwa negaranya telah berhasil melakukan uji coba senjata hipersoniknya sendiri [5]. Superpower Amerika Serikat (AS) merespon dengan mengembangkan AGM-183 ARRW (Air-launched Rapid Response Weapon) yang dapat diluncurkan dari pengebom B-52 Stratofortress dan B-1 Lancer. Uji coba peluncuran ARRW baru-baru ini pula berhasil dilaksanakan dua kali secara berurutan, pertama pada Mei 2022 dan kedua pada Juli 2022 [1]. Pada umumnya terdapat dua jenis rudal hipersonik, yaitu hypersonic glide vehicle (HGV) dan hypersonic cruise missile (HCM). Perbedaan utamanya adalah HCM menggunakan sistem propulsi seperti scramjet untuk mencapai kecepatan hipersonik, sementara HGV (terkadang juga disebut sebagai boost-glide vehicle) tidak dilengkapi dengan sistem propulsi. HGV memasuki flight regime hipersonik setelah dilepas oleh wahana pendorong (booster) layaknya wahana peluncur antariksa (launch vehicle), yang mana setelah itu HGV akan gliding menuju sasarannya dalam kecepatan hipersonik — memanfaatkan momentum yang sangat besar untuk mencapai sasarannya [3]. Contoh dari HCM ialah Zircon dari Rusia dan HAWC (Hypersonic Air-breathing Weapon Concept) dari AS. Sementara contoh HGV ialah DF-17 dari Cina, Avangard dari Rusia, serta ARRW dari AS.

Ancaman yang Unik:

Hal yang membuat rudal hipersonik menarik bukanlah karena kecepatannya, melainkan ketinggian di mana wahana tersebut terbang dengan kecepatan tersebut. Rudal balistik antarbenua (ICBM) seperti LGM-30 Minuteman milik AS dan RS-28 Sarmat milik Rusia keduanya mampu terbang lebih dari Mach 20, tetapi keduanya mengikuti trayektori penerbangan balistik dan keduanya mencapai ruang angkasa pada fase penerbangan tertentu. Profil penerbangan balistik yang ditempuh ICBM membuatnya dapat menjangkau jarak yang jauh karena ketinggiannya yang tinggi dapat mengurangi drag yang dialami wahana serta bantuan gravitasi bumi yang menariknya kembali ke permukaan. Tak hanya itu, trayektori balistik juga lebih mudah untuk diprogram ke komputer penerbangan wahana karena tidak perlu dilakukannya berbagai maneuver untuk mencapai sasaran yang memerlukan sumber daya komputasi yang tinggi. Namun, rudal balistik juga memiliki berbagai kelemahan — puncak trayektorinya (apogee) yang mencapai ruang angkasa membuatnya lebih mudah untuk dideteksi oleh sistem pertahanan seperti radar peringatan dini (early warning radar)- layaknya yang terlihat di Gambar 2. Hal ini disebabkan pandangan (line of sight) radar yang tidak terobstruksi oleh kurvatur bumi, yang mana pengaruhnya membuat horison terlihat sejauh kurang lebih lima kilometer apabila diamati oleh mata seseorang di permukaan laut. Karena lebih awal terdeteksi, senjata balistik dapat dicegat terlebih dahulu menggunakan sistem pertahanan senjata balistik dengan rudal pencegat (interceptor missile) seperti GMD (Ground-Based Midcourse Defense) milik AS dan A-135 milik Rusia. Flight profile balistiknya yang cenderung tidak terlalu banyak bermaneuver juga memudahkan rudal pencegat untuk menemukan solusi titik pencegatan (interception point) terhadap senjata balistik yang datang [3].

Gambar 2: Perbandingan trayektori penerbangan senjata hipersonik dan balistik. Sumber: CSIS Missile Defense Project.
Gambar 3: Perbandingan kemampuan maneuver senjata balistik dengan hipersonik. Nampak bahwa semakin banyak maneuver yang dilakukan, semakin rendah pula jangkauan senjata hipersonik karena kehilangan energi kinetik dan potensial. Sumber: CSIS Missile Defense Project.
Gambar 4: Contoh perbandingan guidance laws wahana hipersonik dengan constraint kecepatan. Sumber: Y. Ding, et al.

Kelemahan-kelemahan inilah yang berusaha untuk dihindari oleh rudal hipersonik. Ketinggian terbang mereka yang rendah membuatnya lebih susah untuk dideteksi radar peringatan dini dengan memanfaatkan kurvatur bumi dan limitasi horison radar. Kelebihan rudal ini juga mengurangi waktu reaksi (reaction time) dari sistem pertahanan lawan untuk menyelesaikan prosedur atau kill chain pencegatan rudal hipersonik secara signifikan, mulai dari pendeteksian dengan sensor peringatan dini hingga pencegatan dengan interceptor missile. Karena pada umumnya terbang tidak di luar angkasa, rudal hipersonik dapat bermaneuver untuk menghindari pendeteksian maupun pencegatan secara lebih leluasa dibandingkan rudal balistik, seperti yang terlihat di Gambar 3. Maneuver-maneuver tersebut dapat dilakukan menggunakan aerodynamic control surfaces layaknya wahana udara lainnya dan diikat dalam guidance law tertentu seperti yang nampak dalam Gambar 4. Setiap guidance law sendiri memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga dilakukan optimisasi guna mengeksekusi maneuver yang tepat [2]. Maneuver yang dilakukan oleh HCM maupun HGV juga mempersulit interceptor missile untuk menghitung solusi pencegatan akibat parameter sasaran yang susah diprediksi dan berubah setiap saat.

Melawan Ancamannya:

Gambar 5: Tantangan dalam image processing sensor luar angkasa guna mendeteksi peluncuran senjata hipersonik dari latar belakang. Sumber: European Space Agency dan CSIS Missile Defense Project.

Keunggulan-keunggulan rudal hipersonik ini tidaklah berarti bahwa mereka tidak bisa dihentikan. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan ancaman senjata hipersonik, mulai dari tahap pendeteksian, yang merupakan bottleneck terbesar dalam kill chain untuk mencegat rudal hipersonik. Salah satu metode yang paling ulung ialah pendeteksian dengan sensor luar angkasa seperti satelit yang dilengkapi dengan sistem komunikasi berlatensi rendah. Karena posisinya yang tinggi, sensor luar angkasa dapat mendeteksi senjata hipersonik mulai dari peluncuran hingga pencegatan, yang merupakan keunggulan utamanya. Salah satu tantangan dalam penggunaan sensor luar angkasa selain diperlukannya jaringan berlatensi rendah ialah kemampuan untuk mendiskriminasi suatu senjata hipersonik dari latar belakang (background clutter) [3]. Fitur ini memerlukan sensor inframerah yang canggih serta kemampuan image processing dengan algoritma machine learning dan/atau artificial neural network yang mumpuni guna beroperasi secara optimal seperti di Gambar 5. Apabila semua kebutuhan tersebut terpenuhi, maka peringatan dini akan rudal hipersonik secara regional dapat diterapkan.

Gambar 6: Barrage balloons yang diterapkan di sekitar London pada masa Perang Dunia II guna menghalau rudal jelajah V-1 dan pengebom Jerman. Sumber: Alamy.

Apabila sebuah rudal hipersonik telah dideteksi dan diinformasikan kepada pusat komando, hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah untuk menghentikannya. Terdapat berbagai jenis rudal pencegat yang telah dikembangkan seperti GMD dan A-135, namun mayoritas dirancang untuk mencegat wahana balistik di kehampaan ruang angkasa, bukan HGV maupun HCM yang mampu bermaneuver di dalam atmosfer. Cara paling sederhana untuk menghentikan senjata hipersonik adalah dengan menerbangkan barrage balloons, sekumpulan balon yang dilengkapi dengan jaring baja diterbangkan guna menghalau datangnya rudal hipersonik, seperti Gambar 6. Cara ini memang terlihat kasar namun sudah terbukti ketika Perang Dunia II dimana ribuan balon-balon tersebut berhasil menghentikan ratusan rudal jelajah V-1 Jerman. Namun terdapat cara lain untuk menghentikan rudal hipersonik yang tidak perlu untuk mengotori langit, membahayakan penerbangan sipil, serta berisiko tinggi untuk jatuh di daerah berpenduduk seperti barrage balloons, yaitu dengan mengembangkan rudal pencegat yang mampu menghentikan senjata hipersonik.

Gambar 7: Konsep rudal pencegat senjata hipersonik menggunakan muatan berupa sebaran partikel kasar dan gelombang mikro. Sumber: CSIS Missile Defense Project.

Kemampuan bermaneuver tinggi dari HGV maupun HCM memberikan tantangan tersendiri dalam mengembangkan interceptor missile yang mampu menghentikan keduanya, sehingga mempersulit rudal pencegat apabila ingin menghantam sasarannya secara langsung menggunakan prinsip hit-to-kill. Namun seperti sebelumnya telah dijelaskan bahwa rudal hipersonik mengalami kondisi aerodinamika dan termal yang ekstrem ketika terbang akibat kecepatannya yang sangat tinggi. Kondisi-kondisi ekstrem tersebut dapat dieksploitasi guna mengembangkan rudal pencegat yang hanya berfokus untuk “mengganggu” trayektori dari senjata hipersonik. Momentum wahana hipersonik yang sangat besar membuatnya rentan apabila bergesekan atau bertabrakan dengan apa pun karena tumbukan yang terjadi akan melepaskan energi yang besar, bahkan suatu percobaan di AS telah membuktikan bahwa tetesan air hujan terbukti dapat merusak wahana reentry secara parah akibat impak dengan kecepatan 3200 m/s [3]. Gangguan kecil terhadap trayektori HGV dan HCM pula dapat pula meyimpangkan wahana hipersonik dari lintasannya atau bahkan menghancurkan wahana akibat overstress dari “gangguan” muatan rudal pencegat. “Gangguan” ini dapat berupa muatan yang berisi debu dengan partikel yang kristalnya runcing (seperti abu gunung api) yang disebarkan ke trayektori rudal hipersonik menggunakan interceptor missile dengan prinsip area of effect. Ketika wahana hipersonik bertabrakan dengan “awan debu” tersebut, diharapkan bahwa impak yang terjadi akan setidaknya menyimpangkan wahana dari lintasannya atau merusaknya cukup parah sehingga tidak dapat mencapai sasarannya, seperti yang terlihat di Gambar 7. Salah satu cara lain yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan senjata energi terarah (directed-energy weapon) seperti pemancar gelombang mikro yang dimuat kedalam rudal pencegat. Dengan sistem seperti ini, pemancar yang dimuat dalam rudal pencegat akan menembakkan gelombang mikro ke HGV atau HCM guna “membakar” komponen elektronik yang ada di dalam wahana hipersonik tersebut dengan harapan setidaknya dapat melumpuhkan wahana tanpa harus menghancurkannya (mission kill). Selain kedua metode itu masih banyak konsep lain yang dapat diterapkan untuk menghentikan ancaman senjata hipersonik, namun kiranya akan dibahas di lain kesempatan.

Kesimpulan:

Senjata hipersonik merupakan ancaman yang nyata dan berbahaya akibat kemampuannya untuk bermaneuver menhindari pendeteksian maupun pencegatan. Namun bukan berarti bahwa ancaman ini tidak bisa dihentikan. Terdapat berbagai optimisasi dan konsep desain yang dapat dikembangkan guna menghalau ancaman senjata hipersonik seperti optimisasi sensor luar angkasa dan jaringan komunikasi, serta pengembangan metode-metode pencegatan yang berkemampuan untuk menghalau wahana hipersonik.

Referensi:

[1] Albon, C., 2022. Lockheed hypersonic weapon moves to next phase after US Air Force test success. [online] defensenews.com. Available at: <https://www.defensenews.com/2022/07/13/lockheed-hypersonic-weapon-moves-to-next-phase-after-us-air-force-test-success/> [Accessed 15 July 2022].

[2] Ding, Y., Yue, X., Chen, G. and Si, J., 2022. Review of control and guidance technology on hypersonic vehicle. Chinese Journal of Aeronautics, [online] 35(7), pp.1–18. Available at: <https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1000936121004167?via%3Dihub> [Accessed 15 July 2022].

[3] Karako, T., & Dahlgren, M. (2022). Complex Air Defense: Countering the Hypersonic Missile Threat. Center For Strategic And International Studies, (978–1–5381–4054–3). Retrieved 15 July 2022.

[4] Jeffrey Dickeson, “Advancements in Hypersonic Weapons Systems and Capabilities” (presentation, TTC Military Hypersonic Weapon Systems Conference, Online, October 18, 2021). Sarah Popkin, “AFOSR Hypersonic Basic Research” (presentation, TTC Military Hypersonic Weapon Systems Conference, Online, October 18, 2021); Ligrani, “Traditional Heat Transfer and Fluid Mechanics Investigations for Defensive Hypersonic Activities”; Marineau, “ONR Foundational Research Supporting Defensive Hypersonic Efforts”; Anderson, Hypersonic and High-Temperature Gas Dynamics; and Christoph Hader, “Laminar-Turbulent Boundary-Layer Transition on a Flared Cone at Mach 6” (presentation, Advanced NASA Modeling & Simulation (AMS) Seminar Series, Moffett Field, CA, May 11, 2017), https://www.nas.nasa.gov/publications/ams/2017/05-11-17.html.

[5] VOA. 2022. Analysis: Why North Korea’s Hypersonic Missile Test Is Troubling. [online] Available at: <https://www.voanews.com/a/analysis-why-north-korea-s-hypersonic-missile-test-is-troubling/6404637.html> [Accessed 15 July 2022].

[6] Missile Defense Project, “DF-17,” Missile Threat, Center for Strategic and International Studies, February 19, 2020, last modified August 2, 2021, https://missilethreat.csis.org/missile/df-17/.

[7] Missile Defense Project, “Avangard,” Missile Threat, Center for Strategic and International Studies, January 3, 2019, last modified July 31, 2021, https://missilethreat.csis.org/missile/avangard/.

--

--